Kamis, 19 Desember 2013

Khofifah: Baik-Buruk Negara Ada di Tangan Parpol

Khofifah Indar Parawansa dalam seminar politik kebangsaan. (khofifahcenter.com)
Jakarta - Partai Politik (Parpol) memegang peran utama dalam perbaikan nasib bangsa Indonesia ke depan. Pasalnya, negara kini sedang dikapling oleh Parpol-Parpol yang berkuasa lewat menteri yang menduduki kursi di kabinet dan parlemen.

Demikian kesimpulan diskusi refleksi akhir tahun pekan politik kebangsaan hari ke-2 yang digelar International Conference of Islamic Sholars (ICIS) di kantor ICIS Jl Dempo, Matraman Dalam, Jakarta, Rabu (11/12/2013).

Ketua Umum Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa, mengatakan, Parpol punya peran besar dalam mempengaruhi kebijakan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sebab, semua yang menentukan terpilihnya mereka adalah anggota parlemen yang dikendalikan parpol. “Jadi Parpol itu kini penguasa tunggal. Tidak ada trias politika itu,” kata khofifah.

Dengan demikian, yang bertanggung jawab atas kondisi bangsa saat ini dan masa yang akan datang adalah partai politik. “Tapi dalam kaderisasi, Parpol tak punya standarisasi yang jelas. Siapa saja bisa masuk Parpol. Banyaknya korupsi sebenarnya yang harus bertanggung jawab juga Parpol,” tandasya.

Senada dengan Khofifah, pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, mengatakan, kekuasaan partai politik saat ini sangat besar. Karena itu, membuat masyarakat menjadi sejahtera dan cerdas, adalah tanggung jawab Parpol.

Menurut Andrinof, Pemilu yang sudah berkali-kali digelar telah memberikan pembelajaran bagi rakyat. Karena itu, program partai harus jelas untuk mensejahterakan rakyat. "Sekarang rakyat mulai disadarkan dan partai politik tidak bisa lagi menampilkan masa lalu, atau menampilkan arwah-arwah," terangnya.

Di tempat yang sama, Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Sebastian Salang, mengatakan, demokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini memaksa calon anggota legislatif harus punya uang yang banyak. "Caleg yang tidak mimiliki uang, dan tidak populer jangan harap dapat menjadi anggota DPR," ujarnya.

Karena ukurannya uang, banyak parpol kini tak mengenal dengan baik calon legislatifnya sendiri. Yang penting punya uang banyak, setiap orang bisa menjadi calon anggota legislatif. "Parpol saja tidak mengenal, apalagi konstituennya, dan parpol saja sulit mengendalikan karena mereka bukan kader partai," ungkapnya.

Pemilu 2014 nanti, katanya, setiap calon anggota legislatif harus mendapat suara sebanyak-banyaknya. Kondisi itu membuat parpol pragmatis dalam memilih caleg. Yang penting mereka bisa mendapat suara terbanyak, siapa saja bisa masuk. "Mereka terjebak merekrut orang, dan tidak peduli caleg itu kader atau bukan," katanya.

Sementara itu, Direktur Investigasi dan Advokasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi membeberkan, triliunan uang negara yang mengalir ke kas partai politik rawan diselewengkan.

Menurutnya, bantuan dari APBD/APBN untuk partai politik dilegalkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) tentang Bantuan Keuangan untuk Partai Politik Nomor 5 tahun 2009 yang diperbarui oleh PP Nomor 83 tahun 2012. Dalam PP Nomor 83 tahun 2012 disebutkan, partai politik diwajibkan menggunakan bantuan dari APBD/APBN sebanyak 60 persen untuk pendidikan politik.

Pendidikan politik yang dimaksud adalah pendalaman empat pilar kebangsaan, pemahanan mengenai hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik, serta pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

"Tapi anggaran ini bukan untuk pendidikan politik, tapi untuk honorarium dan perjalanan dinas. Banyak digunakan oleh pengurus partai yang nganggur dan numpang hidup di partai politik," kata Uchok.

Dari catatan Fitra diketahui, anggaran untuk bantuan untuk partai politik dari APBN 2011 mencapai Rp 9,9 miliar, tahun 2012 Rp 10,4 miliar, dan tahun 2013 Rp 10,9 miliar. Perhitungan APBN untuk anggaran partai, kata Uchok, tidak baku dan terus mengalami penyesuaian. Pada 2011, satu suara dan mendapat kursi akan mendapat sebesar Rp 116, tahun 2012 Rp 123, dan tahun 2013 Rp 129.

"Pada 2011 kita lakukan uji akses, kita kirim surat untuk minta dokumen bantuan. Semua partai menolak, kecuali PKB, alasannya karena belum diaudit," terangnya.

Selanjutnya, hasil penelusuran Fitra mencatat bahwa dalam satu periode (lima tahun), jumlah uang negara yang digerus untuk kepentingan partai politik mencapai Rp 1,4 triliun. Jumlah itu didasari oleh nilai bantuan untuk partai politik dari APBD Kabupaten/Kota dalam lima tahun sebesar Rp 1,2 triliun, APBD Provinsi dalam 5 tahun sebesar Rp 191,1 miliar, dan APBN dalam lima tahun sebesar Rp 50 miliar.

"Korupsi terjadi salah satunya karena tidak ada pendanaan partai, tapi nyatanya ada. Manajemen partai buruk, uangnya tidak pernah diaudit, ada juga yang pemberiannya cash and carry mungkin karena takut tertangkap PPATK," pungkasnya.(rdl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar