Oleh Syafrudin Budiman, SIP
(Pimred www.liputanmadura.com)
Sosok Yazid R Passandre dilirik
sejak dirinya menulis Novel Lumpur, Trilogi Tanah dan Cinta. Ia
menceritakan tragedi semburan lumpur panas di Porong dan kisah duka
derita korban.
Catatan kelam yang diringkas dalam
sebuah novel ini mendadak laris dan banyak diburu orang. Mulai dari para
korban, aktifis LSM, mahasiswa, dosen, dan politisi. Bahkan, para
pejabat yang tangannya masih berlumuran lumpur Lapindo, ikut pula
membaca karyanya.
Yazid, panggilan pendeknya. Sosok pria
penuh optimisme ini lahir 9 Januari 1978 dan dibesarkan di Pulau
Sapeken, Sumenep, Jawa Timur. Sejak kecil hingga tamat Madrasah
Tsanawiyah di Pesantren Abu Hurairah, ia menghabiskan waktunya di Pulau
Sapeken, sebuah pulau mungil yang terletak di gugusan timur kepulauan
Madura.
Yazid pernah berfikir untuk tidak
melanjutkan sekolah formal dan pergi ke Bandung menyusul kakaknya.
Beberapa bulan tinggal di Kota Kembang itu, sang kakak menyarankan agar
Yazid mondok lagi di sebuah pesantren di Solo. Setahun nyantri di Pesantren Al-Mukmin Sukaharjo, Solo, Yazid hijrah ke Yogyakarta dan meneruskan sekolahnya di SMU Muhammadiyah.
“Saya mengenyam kegetiran dan lika-liku
hidup sejak kanak sebagai orang pulau yang sehari-hari tinggal di tepi
laut. Menimba secara langsung spirit kehidupan dari ayah, dan belajar
tentang filosofi hidup dari laut: berpikir luas dan dalam, serta sanggup
memangku beban.” Ujar Yazid mengenang kampung halamannya.
Selama sekolah di Yogyakarta, Yazid
mulai berkenalan dengan dunia tulis menulis dan beberapa kali menjuarai
lomba menulis seperti resensi buku dan karya tulis ilmiah. Yazid yang
menyukai aktivitas volunteer aktif pula berorganisasi. Ia sempat
mengabdi sebagai Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan dan Pengkajian
Strategi Dakwah Remaja (P3SDR) Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar
Muhammadiyah.
Meskipun duduk di bangku sekolah
menengah, Yazid tak canggung berkecimpung dan menggeluti pengalaman
organisasi yang tidak lumrah bagi remaja seusianya waktu itu.
“Dalam hidup yang paling menentukan
bukan usia atau jenjang pendidikan, tapi pola pikir. Saya yakin, usia
tidak masuk daftar syarat kematangan dan keberhasilan. Hidup ini terlalu
singkat untuk menunggu hal-hal besar yang bisa kita perbuat hari ini,”
ungkap Yazid.
Anak ketiga dari pasangan H.M. Muhammad
Ali Daeng Sandre dan Hj. Fauziah Badrul ini belum mengenyam pendidikan
perguruan tinggi, karena segera memutuskan untuk langsung bergiat dalam
dunia interpreneur. Beberapa tahun lamanya aktivitas kepenulisannya
mandeg karena kesibukan Yazid bertualang dalam dunia usaha.
Pada usianya yang masih muda (27 tahun),
Yazid sudah mengukir prestasi usaha yang cukup gemilang, meski beberapa
tahun kemudian perumahan Alam Songsong Permai yang dikembangkannya di
sebuah kawasan di Madura mengalami kemacetan.
“Usaha itu memang sempat
macet, tapi saya tidak merasa gagal. Saya yakin semua bisa ditata
kembali untuk dilanjutkan dengan cara yang lebih baik. Saya mengalami
kesulitan bukan karena terlalu cepat meraih keberhasilan, tapi karena
memang ada yang salah dalam mengelola keberhasilan itu. Tentu, ini
pengalaman berharga untuk meraih mimpi-mimpi saya yang tertunda,” tutur
yazid.
Namun, di sela-sela masa sulitnya itulah
Yazid menemukan mutiara yang hilang. Berawal dari kerinduannya kepada
sosok kakeknya, Yazid kemudian memutuskan untuk menulis buku biografi
sang kakek. Buku tersebut terbit dengan judul: DAENG SANDRE, Kilas Jejak Sang Pemimpin.
Perjalanan sang kakek dan pengalaman kepemimpinannya sebagai kepala
desa hingga akhir hayat, Yazid tumpah-tuturkan dalam buku itu.
“Keindahan yang saya rasakan dalam
menulis adalah karunia besar yang Tuhan anugerahkan secara diam-diam ke
dalam hidup saya. Saya tidak punya alasan untuk tidak mensyukurinya.”
Kata pria penuh pesona ini.
Setahun berikutnya, Yazid menerbitkan buku kedua berbentuk novel dengan judul Tonggak Sang Pencerah (TSP).
Novel sejarah yang menuturkan perjalanan hidup KH Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah, ini Yazid tulis sebagai karya persembahan untuk mengenang
jasa-jasa perjuangan sosok Pahlawan Kususma Bangsa dari Kauman itu
bertepatan dengan momentum Muktamar Satu Abad Muhammadiyah (2010).
Pada 12 November 2011, Yazid melaunching Novel Lumpur.
Ia mengaku bangga dengan ketiga buku yang telah ditulisnya itu, dan
selalu mengatakan bahwa menulis adalah tugas sejarah yang harus terus
dilanjutkan. “Dengan karya tulis, saya mengabdi kepada Tuhan, berbakti
kepada kemanusiaan dan kehidupan.” (rud)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar