Kamis, 26 April 2012

Cerpen : Cinta Martina


“Tak peduli apa yang tengah dijalani,

jika seseorang benar-benar peduli kepadamu,

dia akan selalu temukan waktu untukmu.” (@pepatah)

“Bung Karno tak hanya bicara revolusi bro! Tapi juga bicara tentang cinta!” suaranya mengentak, memecah derai hujan memandikan lalang hijau di sekitar saung mungil tempat kami bercengkerama, berdiskusi, sambil lalu meretas mimpi-mimpi yang singgah di batok kepala kami.

Senja hampir pupus, sedangkan aku masih menatapnya. Pendar cahaya di bolamatanya meredup. Wajahnya beku. Ku coba mencari serpihan ketegaran dari sudut-sudut matanya yang kuyu. “Tapi bukan rasa yang meruntuhkan bro, atau yang memadamkan api revolusi.” Kataku, lirih menyahuti entakan kata-katanya.

Mendengar jawabanku selirih gerimis hujan yang mulai reda, ia tertegun. Duduk tak bergeming, berat menghela nafas, melepas sorot tatapan kosong. Beberapa lamanya ia membungkam.

Berhari-hari sudah aku mencengkeramai cerianya, mendengarkan kisah perburuan yang heroik, mahahidup, hangat berbuncah-buncah. Baru kali ini ia aku melihatnya “mati” tanpa inspirasi.

“Aku tak ingin membohongi diri sendiri, bahwa memujinya membuatku berarti.”

“Kau bisa puji dia setiap saat lewat fb, twitter, bbm, dan posting tulisan-tulisanmu?”

“Itu semua sudah ku lakukan?”

“Lalu, apa masalahnya?”

“Masalahnya tak kan ada lagi pujianku yang sampai kepadanya.”

“Maksudmu?”

“Kemarin, Martina tiba-tiba memutus hubungan bbm denganku, menghapus namaku di salah-satu pertemanan fb, bagaimana bisa ia membaca postingan tulisanku? Anehnya, dia tak pernah mengemukakan alasannya.”

“Mungkin dia tidak suka pujianmu?”

“Mungkin saja. Tapi, adakah di dunia ini orang yang tak suka dipuji? Misalnya, aku mengatakan lewat fb, twitter dan bbm. ‘Tatapanmu membuat jantungku berhenti berdetak’. Apa aku salah memuji tatapan matanya yang indah?”

“Ada lagi?”

“Misalnya, aku menulis. ‘Selain memiliki kecantikan ragawi, Martina mempunyai kecerdesan intelektual.’ Apa itu juga salah?”

“Apa selama ini Martina tahu, mengapa kau selalu memujinya?”

Ia kelu, termangu dengan mata berkaca-kaca.

Hingga pagi ini, ku masih setia menanti jawabnya, sambil menyimpan asa dalam deru haru yang mengharu-biru ketika teringat kata-katanya: Kawan, ku ingin menumpahkan segala pujian kepada Martina di Hari Kartini. Ini bukan hanya soal rasa terhadap wanita, tapi ini soal momentum …

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/04/23/cinta-martina/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar