Kamis, 21 November 2013

Tokoh Muda Pergerakan dan Intelektual

Syafrudin Budiman, SIP., tokoh intelektual dan pergerakan. (Liputanwinda/dok)
Sosok Syafrudin Budiman, SIP
Anak muda ini dikalangan aktifis HAM dan demokrasi, LSM, politisi dan media di Jawa Timur sudah cukup dikenal sebagai sosok muda yang energik dan penuh semangat. Tepat tanggal 1 Mei 2002 yang bertepatan pada hari buruh internasional (May Day). Ia ditangkap oleh polisi saat berdemonstrasi di Jl. Semarang Surabaya. Bersama 6 rekan lainnya ia digiring ke Bubutan, Mapolres Surabaya Utara.

Koran Jawa Pos dan berbagai media lainnya menulis berita itu sebagai headline, dengan judul 7 aktifis mahasiswa ditangkap saat demontrasi di hari buruh. Berkat negoisasi dengan polisi saat itu, tepat Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei, Syafrudin Budiman dan 6 rekannya dilepaskan. Tampak terlihat foto dirinya dipukuli tonngkat oleh polisi, sehingga menyebabkan tangan dan kepalanya memar.


“Bagi saya memperjuangkan rakyat tertindas adalah ibadah, tunduk dan menghamba pada kekuasan adalah syirik. Agama Islam mengajarkan untuk berbuat Amar Makruf Nahi Mungkar dan menyekutukan Allah SWT atau syirik pada kekuasaan tiada ampunan-Nya,” kata Budiman Sang Revolusioner, biasa teman-temannya memanggil namanya.
Sebagai aktifis pergerakan kelahiran Sumenep, 21 Mei 1980 ini, Syafrudin Budiman memang layak disebut “Sang Revolusioner Muda.” Sejak lulus SMA dirinya sudah biasa mempimpin gerakan demonstrasi dan terlibat dalam isu-isu HAM dan demokrasi.
Ketika semangat reformasi sedang digelorakan oleh Amien Rais dan tokoh politik nasional lainnya. Kira-kira antara tanggal 23-24 Mei 1998 dan tepat beberapa hari setelah ulang tahunnya ke 18. Syafrudin Budiman memimpin demontrasi besar-besaran di Kabupaten Sumenep menuntut bergulirnya reformasi. Tepat dua hari setelah momen jatuhnya Diktator Presiden Suharto.
“Isu yang diusung saat ia memimpin demonstrasi reformasi 98 diantaranya, menuntut penuntasan kasus-kasus korupsi, pengadilan terhadap Suharto dan Cabut Dwi Fungsi ABRI/TNI. Selanjutnya isu pencabutan lima paket UU politik, kebebasan pers, serta penegakan HAM dan demokrasi,” terang Sang Revolusioner muda ini.
Waktu itu Reformasi 98 juga menggelinding sampai ke Kabupaten Sumenep, seperti kota-kota lainnya di Indonesia. Sedangan untuk Sumenep isu yang digelindingkan adalah pemberantasan korupsi di Kabupaten Sumenep yaitu, sembako murah, reformasi birokrasi dan mendesak turunnya Soekarno Marsaid (Bupati Sumenep saat itu).
Rudi sapaan akrab Syafrudin Budiman ini dengan penuh semangat bersama teman-temannya tetap melakukan demontrasi, walaupun waktu itu ada himbauan untuk tidak melakukan demontrasi. Ia waktu itu, memimpin langsung demontrasi dengan memakai kaos putih “Bull Dog Fish”.
Demontrasi itu berjalan lancar dan secara resmi diterima pimpinan DPRD Kabupaten Sumenep, Polres dan menuju kantor Bupati mendesak Soekarno Marsaid mundur. Ia tetap memimpin aksi demontrasi di tengah-tengah massa yang sudah panas, bahkan bisa saja menjadi anarkis dan terjadi chaos. Rudi malah tampak tenang dan terus melakukan demontrasi.

“Massa sudah panas dan tetap ingin menyuarakan aspirasinya waktu itu. Saya bilang, biarkan kami berdemostrasi, yang penting aman dan saya yang bertanggungjawab,” ucap Rudi kepada aparat dan tokoh masyarakat yang ikut was-was melihat keadaan waktu itu.
Setelah bulan Mei 1998, ia langsung mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) jurusan Bahasa Inggris. Selesai Ospek (orentasi pendidikan kampus) dan sebelum memulai menerima pelajaran mata kuliah, tepat tanggal 9 September 1998. Rudi bersama senior dan teman-teman mahasiswa se-angkatan, mulai mengikuti demontrasi dengan isu menolak kedatangan Presiden BJ Habibie pada Hari Olahraga Nasional.
Bersama sekitar 3000-an mahasiswa Surabaya yang tergabung dalam Arek Pro-Reformasi (APR) yang beraliansi dengan massa buruh dan PDI Perjuangan mendemonstrasi Presiden “BJ Habibie”. Ribuan mahasiswa-pemuda mencoba merangsek menuju stadion Tambaksari, Surabaya, di mana BJ Habibie sedang membuka Hari Olahraga Nasional.
Aksi tersebut terjadi bentrok fisik antara aparat gabungan kepolisian dan militer, dengan demonstran. Sejumlah massa pendukung PDI Perjuangan sempat memberikan perlawanan, meskipun akhirnya didesak mundur aparat yang memukuli para demonstran. (http://www.minihub.org)
*Photo by Toto Santiko Budi/JiwaFoto Seorang pengunjuk rasa terkapar usai bentrok dengan Sejumlah aparat TNI (Tentara Nasional Indonesia), Surabaya 9 September 2000. Ribuan massa mahasiswa dan pro-mega menolak kehadiran Presiden BJ Habibie saat hendak meresmikan acara Hari Olah Raga Nasional. Demonstran mengganggap jabatan BJ Habibie sebagai presiden inkonstitusional.
“Diantara para korban yang kena pukul aparat, banyak temen-teman saya sekelas. Saya cukup prihatin, tapi kejadian itu tak pernah menyurutkan saya bergerak,” kata Rudi dengan menceritakan kejadian yang terjadi.
Sejak momen demontrasi itulah ia mulai mengenal senior-seniornya di kampus UWKS. Disanalah semangat revolusionernya terpatri dan menggelora. Ratusan demontrasi dan diskusi ilmiah sering dia ikuti, sehingga akhirnya ia memutuskan berhenti kuliah di Jurusan Bahasa Inggris FKIP UWKS. Jurusan ini ditinggalkannya dan pindah ke Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UWKS untuk mengasah kepekaan sosialnya.
Sampai menjelang pemilu legeslatif 1999, Rudi mulai resah. Reformasi yang ia gelorakan bersama teman-temannya, mulai akan dibajak oleh partai politik berbendera reformis gadungan dan sisa-sisa orde baru.
Kebutuhan untuk terlibat aktif dalam kancah politik kemasyaratan mulai tumbuh. Apalagi saat itu dirinya diajak oleh seniornya di FISIP UWKS, Moh. Sholeh mengajaknya untuk bergabung ke Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sebuah partai politik yang mengusung jargon idealisme “Sosial Demokrasi Kerakyatan.”
Partai Rakyat Demokratik adalah sebuah partai politik di Indonesia yang berhaluan sosial demokrat. Partai ini tidak mempunyai jaringan ataupun massa yang besar, dan tergolong sebagai partai kecil; namun demikian, perannya dalam sejarah politik Indonesia sangatlah penting. Walaupun sering salah diinterpretasikan sebagai gerakan kiri habis, partai ini bergerak dengan metode sepenuhnya non kekerasan. (wikipedia.org).
“Saya sering di-indentikkan sebagai aktifis kiri. Walaupun keluarga saya dari aktifis dan tokoh Muhammadiyah. Kiri bagi saya adalah simbol perlawanan terhadap penindasan dan Muhammadiyah berada didepan melawan penindasan, terutama membela kaum mustada’afin (kaum lemah) dari kemiskinan dan kebodohan,” ujar Rudi yang ibunya pernah menjadi Ketua PD Aisyiah Kabupaten Sumenep dan bapaknya adalah ustad di Majelis Tabligh Muhammadiyah Kabupaten Sumenep.
Bersama Moh. Sholeh (saat ini menjadi pengacara terkenal di Jawa Timur) dan beberapa temannya di kampus yang tergabung dari organisasi benama ABRI (Aliansi Bersama Rakyat Indonesia). Budiman Sang Revolusioner ini mengusung bendera PRD sebagai simbol perlawanan politik terhadap kekuasaan.
*Syafrudin Budiman, SIP (Pimpinan Redaksi Liputanmadura.com) bersama KH. Abuya Busro Karim, Bupati Sumenep dalam sebuah acara silaturrahim. sahabat lama sama-sama Pimpinan Parpol 1999 lalu
Syafrudin Budiman ditunjuk sebagai Ketua Pimpinan Kota Partai Rakyat Demokratik (KPK PRD) Kabupaten Sumenep oleh Moh. Sholeh Ketua KPW PRD Propinsi Jawa Timur. Pilihannya bergabung ke PRD tidaklah mudah, tentangan dari keluarga dan temannya mulai dirasakan sebagai konsekuensi pilihan politiknya.
“Sayang PRD gagal tampil sebagai partai politik. Tetapi niat tulus untuk memperjuangkan rakyat kecil tidak hanya lewat parpol, namun juga bisa lewat pendampingan secara intensif di basis rakyat,” terang Rudi yang sering mengorganisir petani, buruh dan mahasiswa.
Lewat pemilu 1999 inilah, ia mulai banyak mengenal dan dikenal oleh tokoh-tokoh lokal Kabupaten Sumenep. Apalagi menjelang pemilihan Bupati Sumenep 2000-2005, Sang Revolusioner muda ini dengan tegas menyuarakan menolak tampilnya kepemimpinan militer. Dalam hal ini menolak dipilihnya kembali Letkol Soekarno Marsaid sebagai Bupati Sumenep.
Aktifis Internal dan Eksternal Kampus
Usai pemilu 1999, dirinya kembali ke kampus dan aktif sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Program Studi Ilmu Politik FISIP UWKS. Drs. Bambang Supriadi, Msi., Dekan FISIP yang sekaligus guru politiknya ini pernah mengatakan, “Kamu memang pantas masuk FISIP, karena dapat menunjang minatmu di bidang sosial dan politik,” kata Syafrudin Budiman menirukan kata-kata Dekannya waktu itu.
Sebagai mahasiswa progressif ia tak terlalu sulit beradaptasi pada pergerakan mahasiswa internal dan eksternal kampus. Sambil memegang kendali sebagai Ketua HMJ Ilmu Politik, dirinya juga dipercaya sebagai Ketua Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP). Dirinya juga menerima amanah sebagai Bendahara Senat Mahasiswa Univeritas Wijaya Kusuma Surabaya (SEMA-UWKS).
Terakhir ia memangku amanah sebagai Ketua I Bidang Organisasi SEMA-UWKS dan dipercaya sebagai Ketua Sterring Komite, Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa (LKMM) SEMA-UWKS. Sebuah bentuk perkaderan tingkat tinggi di kampus yang didirikan tokoh-tokoh Golkar Jatim.
“Di kampus inilah saya banyak berdiskusi dan mengembangkan pemikiran. Ir. Bambang Eko Witono, PR III UWKS saya saat itu, banyak membantu wawasan saya. Dia pernah bilang kepada, kalau ingin sukses kita tidak boleh berfikir sempit dan serius menunjukkan jati diri sendiri,” terang Syafrudin Budiman, mengenang masa lalu dirnya saat menjadi mahasiswa.
Selain aktif di internal kampus, Putra kelima dari pasangan Ach. Zainuddin HR dan Mardhiyah ini, juga aktif dalam gerakan mahasiswa ekstra kampus. Kebetulah Syafrudin Budiman lebih memilih Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, mengingat keluarganya adalah aktifis dan tokoh besar Muhammadiyah. Pengalaman Organisasi di ektra kampus itu dimulai menjadi Ketua Umum Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2002-2004) dan Ketua (Bidang Hikmah) Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC-IMM) Kota Surabaya. (2004-2005).
Selanjutnya juga menerima amanah sebagai Ketua (Bidang Hikmah) DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jawa Timur (2004-2006) dan terlibat aktif pada pendirian PC IMM Sumenep dan ditunjuk menjadi Ketua Umum (Cartaker) Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kabupaten Sumenep (2005-2007).
Usai aktif di IMM Jawa Timur, Rudi juga menerima amanah sebagai Sekretaris (Bidang Sosek) Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (2006-2007) dan melalui resuffle dirnya dipilih sebagai Ketua (Bidang Sosek) Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (2007-2008).
Di IMM anak muda ini dikenal sebagai “Macan Sidang” ketika ia menerima palu, tak pernah palu itu lepas dari tangannya dan kalau berdebat dengannya harus rasional dari sisi pemikirannya. Jika tidak oleh macan sidang ini keinginan tersebut akan ditolak mentah-mentah olehnya. Bahkan ia tak segan-segan mengeluarkannya dari area sidang kalau tak mentaai aturan sidang.
Sebagai anggota Biro Bidang Politik KNPI Jawa Timur (2005-2010) dan Ketua Umum Lingkar Studi Mahasiswa (LISUMA) Indonesia Propinsi Jawa Timur (2008-2009). Syafrudin Budiman selalu diminta menjadi pimpinan sidang di even-even besar, diantaranya pernah menjadi Ketua Presedium Sidang Muktamar IMM XII di Ambon (Mei 2006) dan Ketua Presedium Sidang Tanwir IMM Jelang Muktamar XIII di Bandar Lampung (Juli 2008).
Pegiat Demokrasi dan HAM
Nama dan tampang Syafrudin Budiman sering menghiasi media cetak dan elektronik saat menjadi aktifis hingga hari ini. wacana dan statemen-nya sering masuk di media-media lokal dan nasional. Terkait isu-isu sosial budaya, ekonomi, politik, hukum dan pemerintahan.
Sebagai aktifis Mahasiswa, dirinya juga aktif dalam isu HAM dan demokrasi. Dirinya bersama Hendy Prayogo (Sekretaris PSMTI Jawa Timur), tercatat dalam sejarah pernah mengundang aktivis HAM, (Alm) Munir SH ke SMU Muhammadiyah 2 Pucang Jl. Pucang Anom 91 Surabaya. Dalam sebuah acara Malam Peringatan Tragedi Mei 98 dan Refleksi enam Tahun Reformasi, tepatnya pada 17 Mei 2005. Saat itu, Syafrudin Budiman sebagai Ketua Panitia dan Rubaidi, Wakil Sekretaris PW Nahdlatul Ulama Jawa Timur sebagai Sekretaris Panitia.
Selanjutnya tahun berikutnya 2006 lalu, Rudi juga menggelar acara yang sama dan mengundang aktivis HAM, Ester Endrayani Yusuf, SH (Solidaritas Nusa Bangsa) dalam acara Malam Peringatan Tragedi Mei 1998 dan Refleksi Tujuh Tahun Reformasi, Senin 16 Mei di halaman SMU Muhammadiyah 2, Jalan Pucang Anom 91, Surabaya. Saat itu juga, Syafrudin Budiman sebagai Ketua Panitia dan Amelia Aini, Sekretaris PW Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Jawa Timur sebagai Sekretaris Panitia.
Acara yang diselenggarakan dua tahun berturut-turut tersebut, banyak hadir tokoh organisasi kemasyarakatan (ormas), LSM, mahasiswa, aktifis demokrasi dan HAM, tokoh tionghoa Jawa Timur dan para seniman. Acara itu berlangsung khidmat dengan pembacaan doa dan nyala lilin dengan lampu remang-remang untuk mengingat para korban tragedi Mei 98.
Munir dan Ester Endrayani Yusuf adalah sama-sama pemenang Penghargaan Yap Thiam Hien Award. Penghargaan ini adalah sebuah penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan HAM di Indonesia.
Nama penghargaan ini diambil dari nama pengacara Indonesia keturunan Tionghoa dan pejuang HAM Yap Thiam Hien Award. Penghargaan ini umumnya diberikan setiap tahun pada tanggal 10 Desember sejak tahun 1992. Sampai saat ini terus berlangsung kecuali tahun 2005. Yayasan ini meniadakan pemberian penghargaan untuk tahun 2005 karena alasan kurangnya dana. (id.wikipedia.org/wiki/Penghargaan_Yap_Thiam_Hien)
(Alm) Munir waktu itu menjabat Direktur Imparsial. Munir dinilai kritis terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan negara dengan mengunakan kekuasaan tangan tentara. Sementara Ester Endrayani Yusuf dikenal sebagai Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Tragedi Mei 98. Dimana dalam buku hitam mengungkap tabir Tragedi Mei 98 hasil rekomendasi TGPF meminta pembentukan pengadilan Ad Hoc pelanggaran HAM yang meilibatkan jenderal dan petinggi militer.
Rudi sebagai aktifis DPD IMM Jatim, saat pidato pembukaan acara tersebut mengatakan, pihaknya mendesak pemerintah agar mengusut tuntas tragedi Mei 1998 dan mengadili jenderal pelanggar HAM yang terlibat peristiwa Mei, serta mencabut produk undang-undang yang anti demokrasi dan melanggar HAM.
Politik Kebangsaan
Semua orang tidak ragu lagi ketika dirinya dipercaya sebagai Sekretaris Inisiator Partai Matahari Bangsa (PMB) Jatim dan Sekretaris Pimpinan Wilayah PMB Jatim. Selain memang berbakat dalam dunia politik, dirinya juga lahir dari kalangan keluarga Politisi Muhammadiyah. Saat ia menjadi pendiri PMB usianya masih 26 tahun dan ia juga masih menjabat Ketua Bidang Sosek Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah periode 2006-2008.
Disaat usianya 31 tahun Syafrudin Budiman terpilih sebagai Ketua Umum Majelis Imarah Pimpinan Wilayah Partai Matahari Bangsa (PW PMB) Jawa Timur melalui hasil reshuffle kepengurusan. Saat ini ia adalah salah satu ketua partai termuda di Jawa Timur dari 34 parpol yang ada di Jawa Timur. Dirinya dipilih untuk menggantikan Mufti Mubarok yang terlibat aktif pada pendirian Partai Nasdem dan Ormas Nasional Demokrat.
Wajar saja jika Rudi yang juga Konsultan Politik dan Media ini dipilih menjadi Ketua PW PMB Jawa Timur. Mengingat komitmen dan konsistensi perjuangan yang dilakukan selama ini, tidak mengedepankan gerakan pragmatisme semata. Akan tetapi, ia tetap kokoh dalam gerakan politik kebangsaan yang penuh istiqomah.
Dalam Rapimnas Partai Matahari Bangsa 30 April – 01 Mei 2011 di Hotel Gren Alia Cikini Jakarta, ia menyampaikan pidato politiknya. “Warga Muhammadiyah dan generasi muda-nya tidak bisa berpijak pada kaki orang lain, namun harus berpijak pada kaki sendiri. Mengingat cita-cita dan tujuan Muhammadiyah tergantung para kadernya. Termasuk keterlibatannya dalam dunia politik kebangsaan,” katanya disambut aplaus dari peserta Rapimnas.
*Suryanto Wibowo Ketua PD PMB Jember, Imam Addaruqutni Ketua Umum PP PMB, Syafrudin Budiman Ketua PW PMB Jatim dan Arif Zubaidi Ketua PD PMB Lamongan dalam Rapimnas 2011.
Sebelumnya pada pemilu 2009, Syafrudin Budiman adalah Calon Anggota Legestalif (caleg) Daerah Pemilihan VIII (Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Jombang, Kabupaten Madiun dan Kota Madiun) nomor urut 1, tetapi gagal terpilih. Sang Revolusioner ini tak pernah menyerah dan frustasi dalam perjuangan kerakyataan dan kebangsaan di Jawa Timur.

Saat ini dirinya bergabung ke Partai Amanat Nasional (PAN), setelah secara resmi PMB bergabung dengan partai yang dikomandani Hatta Rajasa ini. Ia saat ini menjadi Bacaleg PAN dari Dapil Jatim I Surabaya - Sidoarjo. Politisi muda ini maju sebagai Bacaleg PAN berdasarkan usulan Ketua Umum PP PMB, Imam Addaruqutni.
Aktif sebagai Konsultan Media dan Politik
Dengan pengalamannya dibidang media dan politik,  Rudi kembali kedua gerakan intelektual dengan menjadi Analis Pemerhati Sosial Politik dan Media sebagai profesi dan mata pencahariannya. Dirinya sering diundang oleh TV, Radio dan media cetak untuk mengisi dialog dan wawancara tentang situasi politik lokal dan nasional.
Beberapa media tersebut diantaranya, JTV, Madura Channel, RRI, Nada FM, Suara Surabaya, Radio Muslim Surabaya dan berbagai media cetak dan elektronik lainnya. Syafrudin juga spesialis bidang media dalam Tim Kampanye dan Politik Personal Branding bagi calon bupati dan wakil bupati, serta anggota DPR RI, DPRD Jatim dan DPRD Kabupaten/Kota.
“Sebagai analis media dan sosial politik saya sangat senang, sehingga bisa menyampaikan ide, gagasan dan bahkan kritik,” kata pria yang gemar musik hard rock ini.
Karirnya di bidang media dan lembaga sosial kemasyarakatan cukup bagus. Pengalaman kerjanya ia mulai sebagai Reporter dan Wakil Manejer Radio WK FM Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2001-2003), Wartawan Surabaya Post (2002-2003), Wartawan dan Kepala Biro Radar Minggu (2004-2006).
*Syafrudin Budiman di Hotel Aston Rasuna Said Apartemen, dalam acara pelatihan kewirausahaan, DPP IMM (Februari 2012).
 Selain itu pegiat seni dan budaya ini juga pernah menjadi Redaktur Koran Mandarin Rela Warta/Cheng Bao (2004-2005) milik sahabatnya Hendi Prayogo (Sekretaris PSMTI Jawa Timur). Pernah juga menjadi konstributor di media persyarikatan Muhammadiyah www.muhmmadiyah.or.id (2006-2007). Sebelumnya juga pernah menjadi konstributor Republika (2010) di Madura dan Redaktur Senior di www.jifoksi-mti.com, sebuah media khusus informasi pengadaan barang jasa dan konstruksi.
Saat ini Rudi bersama temannya Firman mendirikan www.liputanmadura.com dan didaulat menjadi Pimpinan Redaksi. Selain itu pria yang juga aktif dalam kegiatan seni dan budaya mendirikan www.liputanwinda.com Warta Indonesia Berbudaya sebuah portal khusus seni, budaya dan lifestyle. Di media ini ia menjadi pemilik atau Pimpinan Perusahaan sekaligus Pimpinan Redaksi.
“Saya sangat senang terlibat dalam kegiatan kebudayaan. Melalui budaya kita bisa memberikan pesan-pesan moral dan humanitas untuk kebangsaan,” tukasnya.
Sementara itu dalam kegiatan sosial kemasyarakatan Rudi pernah bekerja sebagai Koordinator Entry Data Pemilu Legeslatif 2004, Pilpres I dan II di Jawa Timur 2005 DPD IMM Jawa Timur. Ia juga terlibat aktif sebagai Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) DPD IMM Jawa Timur bekerjasama dengan The Asia Fondation (2004-2005).
Sebagai konsultan Media dan Politik Syafrudin Budiman memiliki lembaga yang bergerak pada Riset dan Penelitian dengan nama Lembaga Andalan (Analis Politik dan Media) (2004-sekarang). Lewat lembaga ini dirinya sering menerima order untuk sebuah pemetaan politik, magerial dan opinion building politik.
Tulisan dan karya ilmiahnya sering dimuat di berbagai media cetak dan online, terkait masalah Pilkada dan Pemilu. Ia juga sering diundang menjadi pembicara dalam Diskusi, Seminar, Pelatihan dan Focus Group Discussion (PGD).
Cicit Tokoh Besar Muhammadiyah.
Syafrudin Budiman adalah cicit dari (Alm) KH.Mas Mansur, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah jaman kemerdekaan, yang juga Inspirator berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MAIA) yang bermetamorfosa menjadi MASYUMI. KH. Mas Mansur berhasil melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya MAIA, bersama Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU).
KH Mas Mansur juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, KH. Mas Mansur termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH. Mas Mansur. (id.wikipedia.org/wiki/Mas_Mansoer#Terpilih_menjadi_Ketua_PB_Muhammadiyah).
*KH. Mas Mansur dalam Perjuangan dan Pemikiran
Beliau, KH Mas Mansur termasuk dalam Keluarga Besar Sagipodin (Bani Gipo) yang dikenal memiliki akar yang kuat di kalangan Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama, Kedua Cucu Sagipodin yakni KH Mas Mansur dan KH. Hasan Basri (Hasan Gipo) merupakan dua tokoh penting dalam pertumbuhan Muhammadiyah dan NU, yang seorang dipercaya sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah sementara yang seorang lagi mendapat amanat sebagai Ketua Tanfidziyah NU Pertama.
Satu lagi catatan penting yang jarang diungkapkan oleh media adalah ihwal wafatnya KH Mas Mansur dalam tahanan NICA pada tahun 1946, ternyata KH Mas Mansur tidak mengalami penahanan biasa melainkan di eksekusi mati dengan disuntik darah kera, sehingga akhirnya wafat dalam tahanan pada tanggal 25 April 1946.
KH Mas Mansur dengan kehalusan dakwah dan pribadinya yang sederhana begitu dihormati oleh Bung Karno. Dalam beberapa suratnya di Pengasingan Bung Karno menanyakan beberapa soal-soal agama kepada Mas Mansur, bahkan konon KH Mas Mansur diminta secara khusus oleh Bung Karno untuk menjadi penghulu dan menikahkannya dengan Fatmawati. (Badrut Tamam Gaffas, 2008/badruttamamgaffas.multiply.com).
Selain sebagai Cicit dari KH. Mas Mansur, Rudi juga merupakan cicit dari R. Musaid “Seorang Pejuang Budaya,” yang juga seorang tokoh Muhammadiyah. Jadi sangat wajar jika Syafrudin Budiman secara politik kebangsaan mewakili KH. Mas Mansur dan dari sisi cintanya kepada kebudayaan Syafrudin Budiman mewakili Raden Musaid “Werdisastro”.

Raden Musaid adalah Sastrawan Legendaris yang berjasa menulis Babad Sumenep. Awalnya penulisan tersebut dimaksudkan sebagai upaya pelurusan sejarah terutama sejarah Islam di sumenep dalam bingkai dinamika hubungan antar etnik yang berlangsung damai. Dalam Babad itu digambarkan pula tumbuh kembang sebuah komunitas masyarakat berperadaban dan berperilaku elok yang disebut Bangselok.
Sebagai Budayawan dan Pejuang secara cerdik Raden Musaid berupaya mengobarkan semangat perjuangan anti penjajahan kolonial belanda melalui simbol dan kiasan yang banyak terdapat dalam Babad yang dikarangnya, buku tersebut memang ditulis menggunakan Bahasa Madura dengan Aksara Jawa sehingga praktis pihak belanda menjadi gagap dalam menangkap maksud rahasia sang penulis, sebaliknya pemerintah hindia belanda memberikan apresiasi yang tinggi dan penghargaan kepada Raden Musaid berupa sejumlah Gulden dan sebuah Gelar “WERDISASTRO."
Sejak itulah Raden Musaid dikenal sebagai R. Musaid Werdisastro, ketika tarikh masehi menginjak 15 Pebruari 1914 Naskah Babad Sumenep tersebut naik cetak dan diterbitkan oleh Balai Pustaka sehingga anggapan Raden Musaid sebagai sastrawan lokal menjadi terbantahkan, Babad Sumenep menjadi sebuah naskah budaya yang memperkaya khazanah budaya dan sejarah bangsa.
Raden Musaid yang budayawan dan cendikiawan memiliki kedekatan dengan Kyai Haji Mas Mansur yang berdarah Sumenep, dalam berbagai biografi disebutkan bahwa KH Mas Achmad Marzuki (ayahanda Mas Mansur) terhitung masih keturunan dari bangsawan Sumenep.
Sebagai ulama muda yang kharismatik Kyai Haji Mas Mansur berhasil membawakan kehalusan dakwah yang menyentuh sehingga memberi pengaruh yang luarbiasa kepada pribadi Raden Musaid, beliau memilih jalan yang tidak biasa ditempuh oleh kebanyakan budayawan dan kaum adat yang mengambil jarak atas gerakan dakwah, semangatnya justru meluap – luap untuk mengikuti cara beragama yang diajarkan oleh Mas Mansur yang berusaha menempatkan agama dan budaya secara proporsional tanpa mengesampingkan adat / budaya yang bersendi syara’ dan berpilar kitabullah.
Raden Musaid menjadi penggerak pengembangan Muhammadiyah di Sumenep, beliau secara tegas menolak dikotomi NU-Muhammadiyah, menurutnya NU-Muhammadiyah atau Ormas keagamaan lainnya sama – sama bisa menjadi jembatan pergerakan berbasis keagamaan yang bisa mengantarkan ummat menggapai pencerahan spiritual. Dukungan untuk mengembangkan Muhammadiyah di Ujung timur Pulau Madura itu datang dari keluarga besarnya juga dari Kyai Haji Mas Mansur yang menjadi konsul Muhammadiyah Jawa Timur di Surabaya dan kemudian terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah (1937 – 1943). (https://bulanbintang.wordpress.com/2008/03/31/gelora-islam-sang-sastrawan-besar-madura-r-musaid-werdisastro-%E2%80%93-penulis-babad-sumenep)
*Keluarga Besar Ustadz Hakam berfoto bersama sepeninggalnya almarhum. Tampak Syafrudin Budiman berdiri di tengah. Pertemuan keluarga ini bertempat di Labangan, Bangselok Sumenep.
Cucu Penggerak Muhammadiyah Sumenep
Kakeknya (Alm) Ustadz. KH. Abd.Kadir Muhammad (AKM) adalah Ketua PD Muhammadiyah Sumenep-Madura yang juga mantan anggota DPRD Sumenep dari MASYUMI. Bahkan Bapaknya Ustadz.Ach. Zainudddin HR pernah menjadi Ketua PCM Sumenep/Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah.
Sedangkan Ibunya Mardhiyah adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiah Sumenep (PD NA) periode 1992-1997. Kedua orangtuanya sama-sama aktifis PII dan KAPPI/KAMMI tahun 66-67 dan sempat aktif di GPI underbow MASYUMI.
“Saya memang lahir dari keluarga politisi dan keluarga struktur Muhammadiyah, Malah yang mendorong saya bergabung ke PMB adalah keluarga. Ketika kami kedatangan KH. Imam Addaruqutni, Ketua Umum PP PMB di Sumenep Madura, yang menyambut hangat adalah keluarga besar AKM,” paparnya.
*Ustadz KH. Abdul Kadir Muhammad kakek Syafrudin Budiman penggerak Muhammadiyah di Sumenep.
Berikut ini sekilas profil Ustadz KH. Abd. Kadir Muhammad, kakak dari Syafrudin Budiman, kakeknya dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah Sumenep yang sejuk dan ramah pada murid-muridnya.
Karena minimnya tenaga dakwah di Sumenep pada sekitar tahun tiga puluhan, maka Raden Musaid meminta bantuan kepada Kyai Haji Mas Mansur yang segera dijawab dengan dikirimkannya beberapa tenaga dakwah yang salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad (AKM), salah seorang murid sekaligus keponakan KH Mas Mansur.
Abdul Kadir Muhammad dibesarkan dalam lingkungan agamis yang pluralis, sang ayah KH Mas Muhammad menitipkannya untuk dididik oleh adiknya yaitu Kyai Haji Mas Mansur sementara saudara Abdul Kadir Muhammad yang lain ada yang mendapatkan didikan langsung dari Hasan Gipo, Ketua Tanfidziah NU pertama.
Keluarga Besar Sagipodin (Bani Gipo) memang memiliki akar yang kuat di kalangan Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama, Kedua Cucu Sagipodin yakni KH Mas Mansur dan KH. Hasan Basri (Hasan Gipo) merupakan dua tokoh penting dalam pertumbuhan Muhammadiyah dan NU.
Di Pulau Madura, Abdul Kadir Muhammad memulai berdakwah dari lingkungan keluarga besar Raden Musaid, keberadaannya cepat bisa diterima dan akrab disapa dengan sebutan “Ustadz”, beliau juga berdakwah di lingkungan Masjid Jamik Sumenep. Demikianlah Ustadz Abdul Kadir Muhammad (Hakam) yang ber-etnis Jawa ternyata sangat memahami karakteristik orang madura dan terbukti fasih dalam berbahasa madura, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam berinteraksi dalam komunitas yang berbahasa dan berbudaya madura.
Untuk meneguhkan perjalanan dakwahnya di Sumenep maka Ustadz Hakam kemudian menikahi R. Fatimatuz Zahro yang tak lain adalah cucu R. Musaid dari Puterinya R.Ay Mariatul Kibtiyah.
Dalam menyikapi perbedaan corak keberagamaan Ustadz Hakam selalu menekankan pentingnya mencari persamaan serta memperkuat ukhuwah wathoniah diantara ummah. selain aktif berdakwah ustadz Hakam juga meniti karir dari bawah di lingkungan Departemen Agama, pada pertengahan tahun lima puluhan ditugaskan sebagai kepala Kantor Urusan Agama Maluku Tenggara.
Sekembalinya dari tanah Maluku, cita –citanya makin menguat untuk mengembangkan pendidikan yang berbasis agama, pada periode tahun enam puluhan beliau dipercaya untuk mengembangkan Pondok Pesantren Modern Panarukan dan mulai merintis pengembangan dakwah di pulau – pulau kecil di sekitar Madura. Terakhir KH Abdul Kadir Muhammad menjadi Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Modern Islam (YPPMI) Pulau Kangean dan terus berdakwah hingga akhir hayatnya. (https://bulanbintang.wordpress.com/2008/03/31/gelora-islam-sang-sastrawan-besar-madura-r-musaid-werdisastro-%E2%80%93-penulis-babad-sumenep/).
*Foto kenang-kenangan pembangunan YPPMIK (Ponpes Modern Islamiyah Kangean).
“Saat kakek saya Ustadz Hakam meninggal, umur saya masih 4 tahun. Saya sempat merasa sejuk saat digendong olehnya. Kelembutan tutur kata dan gaya tubuhnya membuat saya semangat mengikuti langkah dan perjuangannya,” kata Rudi, sambil meneteskan mata mengenang perjuangan kakeknya.
Pernah suatu waktu tahun 2012, dirinya bertemu murid kakeknya di Panarukan. Namanya Daeng Ali Passandre asal Sapeken, Sumenep. Bapak Daeng Ali merasa bangga menjadi murid Ustadz Hakam. Semangat dan perjuangan beliau, kata Daerng Ali memberikan inspirasi di tengah minimnya fasilitas dan kegiatan pendidikan waktu itu. Terutama di Kangen dan Panarukan yang memang tertingal secara pendidikan.
“Hari ini masyarakat kepulauan terutama Kangean sangat berhutang budi dengan Ustadz Hakam. Komitmen dan dedikasi beliau menjadi penentu pembangunan di Kepulauan Kangean dan Sapeken,” pungkas Daeng Ali sambil menunjukkan tangannya kepada Rudi, yang merinding mengingat gurunya itu.
“Wajah dan bentuk tubuh Ustadz Hakam mirip dengan denganmu,” kata Daeng Ali menunjuk wajah Rudi. (Tim/diambil dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar